Gejolak politik kebudayaan di Indonesia selama 1950-an dan 1960-an sangat mengesankan bagi budayawan, sastrawan, seniman dan politisi pada waktu itu. Dapat dibayangkan situasi-kondisi pada tahun-tahun itu sangat menguras energi banyak pihak. Dalam skripsi Alexander Supartono dikatakan bahwa gejolak yang terjadi antara tahun 1960-1965 adalah fenomena yang paling dikenal dan sekaligus tidak jelas. Gejolak yang terkenal dengan 'Peristiwa Manikebu' (manifes kebudayaan) ini kemudian menuntut multitafsir sesuai kepentingan setiap penafsir dan terutama sesuai dengan tingkat kesempatan (atau kemampuan) mengakses bahan sejarah yang sezaman. Sebagian menafsirkan 'Peristiwa Manikebu' sebagai perdebatan antara penganut realismesosialis dan pendukung humanisme-universal, pertarungan antara Lekra dan angkatan '45 sebagai cikal bakal pencetus Manifes Kebudayaan. Sebagian lainnya menyatakan sebagai penindasan Lekra 'lembaga kebudayaan yang dominan pada masa itu' terhadap paham-paham lain, terutama terhadap kelompok Manifes Kebudayaan yang secara frontal menghadangnya. Ada juga yang menyatakan bahwa pergolakan itu tidak lain dari sebuah pertarungan politik yang mengambil domain kebudayaan. Persis di tengah-tengah riuhnya pertarungan tersebut, sebagai 'gerakan alternatif' para seniman dan budayawan NU meresponnya dengan membentuk LESBUMI yang lahir pada 21 syawal 1381 H (28 Maret 1962) yang peresmiannya berlangsung di gedung Pemuda Jakarta. Tiga tokoh pelopor utamanya yaitu Djamaludin Malik, Usmar Ismail, Asrul Sani ditambah tokoh lainnya Misbah Yusa Biran, Anas Ma'ruf, dan sebagainya. Karakter utama yang membedakan Lesbumi dari Lekra dan Manifes Kebudayaan adalah kentalnya warna 'religius' dalam produksi seni budayanya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari dua titik ekstrim antara kubu Lekra dan Manifes Kebudayaan. Pada titik ini, Lesbumi yang mendasarkan ekspresi keseniannya tetap pada garis ideologi ahlussunnah wal jama'ah (Aswaja) walaupun pada saat itu ulama-ulama NU pura-pura tidak tahu menahu soal keberadaan Lesbumi karena secara hukum fiqh masih dalam pembahasan apakah diperbolehkan atau tidak. Seni budaya Islam/Pesantren yang nota bene 'tradisional' dan 'religius' (qasidah, tilawah/seni baca al-Qur'an) dan seni budaya 'modern' (sastra, film, dan teater) ini boleh dipadukan atau tidak juga tidak pernah difatwakan. Tapi bagaimanapun latar budaya NU sangat terkait dengan pesantren. Meningkatnya suhu politik di Indonesia yang berujung pada peristiwa '30 September 1965' dan masa-masa yang mengikutinya telah mengakibatkan 'mati-suri'-nya dinamika seni budaya di Indonesia hingga saat ini. Dengan sendirinya, proses pencarian format seni budaya yang coba dilakukan oleh Lesbumi mengalami 'jeda'. Pandangan lain juga dikemukakan oleh Hersri Setiawan seorang mantan tahanan politik yang pernah aktif di Lekra mengisyaratkan bahwa terlalu dini untuk meyakini Lesbumi sebagai lembaga seni budaya yang 'mapan' setara dengan Lekra. Menurut Hersri, Lesbumi sebenarnya memang belum pernah lebih dari sekedar nama plus Mahbub Djunaidi sebagai kolumnis Duta Masyarakat dan Djamaluddin Malik sebagai sutradara film Persari. Masalah relasi antara seni budaya, agama, dan politik mendapat perhatian mendalam dalam buku ini. Rentang waktu yang diambil, 1952-1967 menggunakan acuan kesejarahan NU. Pertimbangan utamanya adalah karena pada tahun 1952, NU menyatakan keluar dari Masyumi. Kurun waktu 1952 hingga 1967, seperti dinyatakan penulis buku Ijtihad Ulama NU Greg Fealy, merupakan masa giat-giatnya NU berpolitik. Sikap moderat dan akomodatif telah ditempuh NU untuk memperluas pengaruhnya di masyarakat. Dalam rentang waktu tersebut (1962) Lesbumi lahir. Polemik Kebudayaan Satu isu penting muncul dari polemik kebudayaan, yakni soal sejauhmana kebudayaan Indonesia yang dibangun pada saat itu menoleh ke arah 'Barat' (Eropa), ke arah 'Timur' (India), atau ke arah masa lalu pulau-pulau yang diimajinasikan sebagai Indonesia asli. Munculnya isu pesantren dalam 'Polemik Kebudayaan' menjadi titik temu dan sekaligus pengantar bagi NU memasuki wacana kebudayaan di Indonesia dalam 'dua momentum penting'. Titik pertemuan NU dengan wacana kebudayaan di Indonesia sejalan dengan proses pembentukan negara-bangsa dan kesadaran akan 'nasionalisme Indonesia' satu fenomena kemodernan. Indonesia File http://indonesiafile.com Powered by MI.eNGINE! Generated: 20 June, 2008, 23:15 Dalam perjumpaannya dengan budaya, pesantren 'pesantren yang di polemikkan oleh para intelektuil pada waktu itu, seperti Dr. Sutomo, Tjindarbumi, adi Negoro, Ki Hajar Dewantara, dan Alisjahbana dalam 'peristiwa kebudayaan' di tahun 1930-an 'menjadi titik temu bagi NU. Munculnya isu pesantren dalam 'peristiwa kebudayaan' tahun 1930-an tidak dapat dilepaskan begitu saja dari polemik tentang pendidikan dan perguruan nasional di Indonesia. Polemik tersebut dilihat dalam konteks perdebatan antara 'Timur' dan 'Barat'. Hal ini menunjukkan bahwa pesantren 'sebagai bagian dari lembaga pendidikan dan perguruan nasional' telah menjadi arena perebutan wacana tentang kebudayaan Indonesia. Pesantren yang diimajinasikan sebagai 'asli' berkultur 'Timur' dan berkarakteristik kedesaan diperhadapkan dengan H.I.S. dan E.L.S. yang diimajinasikan sebagai berkultur 'Barat' dan berkarakteristik kekotaan. Kultur 'Timur' dan karakter 'desa' dipandang tradisional. Sedangkan kultur 'Barat' dan karakter 'kota' dipandang modern dan maju. Pengimajinasian dan pengkarakterisasian ini mendorong usaha-usaha pemodernan dan pemajuan terhadap pesantren. Artinya, ada usaha untuk membaratkan dan mengotakan pesantren agar modern dan maju. Usaha untuk mengotakan pesantren berhasil dilakukan. Pengotaan pesantren dilakukan melalui mediun 'organisasi' NU yang lahir pada 31 Januari 1926 di 'kota besar' Surabaya. Usaha ini, antara lain mewujud dalam bentuk pendirian madrasah di 'kota-kota besar', khususnya di pulau Jawa. Langkah ini sejalan dengan gagasan Dr. Sutomo. Sementara itu, mengingat bahwa basis massa NU berada di pedesaan, upaya pemodernan juga dilakukan dengan mendirikan madrasah di desa-desa. Dalam hal tertentu, langkah ini sejalan dengan gagasan Alisyahbana. Pemodernan dalam ruang sosio-budaya kota dan desa ini meniscayakan ulama untuk melakukan peran 'translasi dua arah'. Upaya modernisasi kaitannya dengan pembaratan yang dinilai berhasil adalah ketika NU menarik diri dari partai Masyumi dan menjadi 'partai politik' tersendiri pada tahun 1952. Modernisasi dilakukan untuk mengimbangi kemodernan Partai Masyumi. Satu 'penanda kemodernan penting' dalam proses itu adalah kehadiran Lesbumi di dalam Partai NU. Namun, kehadiran Lesbumi sebenarnya tidak hanya menjadi 'satu penanda kemodernan penting', tetapi juga sebagai ? pada saat yang bersamaan 'peniruan' terhadap organisasi yang ekspresi kebudayaannya mencerminkan 'tradisionalisme' dan bercorak 'kerakyatan', Lekra. Jadi, kehadiran Lesbumi di dalam NU seolah nampak sebagai sebuah paradoks: menghadirkan modernitas dan tradisionalitas sekaligus. Hal ini menandakan bahwa proses pembaratan dan penimuran yang dilakukan NU masih sedang berlangsung. Di NU istilah 'kebudayaan' baru muncul dalam Muktamar ke-19 di Palembang pada tahun 1952. Istilah kebudayaan muncul bersamaan dengan istilah pendidikan dalam rumusan tentang 'Program Perjuangan NU'. Yang menarik adalah wacana tentang kebudayaan ini muncul di saat NU memutuskan untuk menarik diri dari Partai Masyumi dan menjadi partai politik tersendiri. Artinya, kebudayaan di sini lahir dari kehendak politik. Perhatian NU pada masalah kebudayaan, yang sejalan dengan perhatiannya pada masalah pendidikan, mengingatkan kita pada 'peristiwa kebudayaan' tahun 1930-an yang sedang mempolemikkan masalah pendidikan dan perguruan nasional di Indonesia. Jadi, isu pendidikan dan perguruan nasional memang tak bisa dilepaskan begitu saja dari isu kebudayaan. Oleh: Taufiq attamzirien Indonesia File http://indonesiafile.com Powered by MI.eNGINE! Generated: 20 June, 2008, 23:15
June 20, 2008
LESBUMI di Tengah-Tengah Aliran Realisme Sosialis VS Humanisme Universal
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment