February 23, 2008

Bookmark and Share


Pertempuran Surabaya
Bagian dari Perang Kemerdekaan Indonesia
Tentara Britania menembaki sniper dalam pertempuran di Surabaya.
Tanggal
27 Oktober - 20 November, 1945
Lokasi
Surabaya, Indonesia
Hasil
Inggris menguasai Surabaya
Pihak yang terlibat
Indonesia
Britania Raya Belanda
Komandan
Bung Tomo
Brigjen A. W. S. MallabyMayjen E. C. Mansergh
Kekuatan
20,000 tentara100,000 pasukan liar[1]
30,000 (puncak)[1]didukung tank, pesawat tempur, dan kapal perang
Jumlah korban
16,000[1]
2,000[1]
Peristiwa 10 November merupakan peristiwa sejarah perang antara Indonesia dan Belanda. Pada 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian, tepatnya, 8 Maret, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Sejak itu, Indonesia diduduki oleh Jepang.
Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada Agustus 1945. Mengisi kekosongan tersebut, Indonesia kemudian memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Sebelum dilucuti oleh sekutu, rakyat dan para pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada 25 Oktober. Tentara Inggris didatangkan ke Indonesia atas keputusan dan atas nama Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Tetapi, selain itu, tentara Inggris juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada pemerintah Belanda sebagai jajahannya.NICA (Netherlands Indies Civil Administration) pun membonceng. Itulah yang meledakkan kemarahan rakyat Indonesia di mana-mana.
Di Surabaya, dikibarkannya bendera Belanda, Merah-Putih-Biru, di Hotel Yamato, telah melahirkan Insiden Tunjungan, yang menyulut berkobarnya bentrokan-bentrokan bersenjata antara pasukan Inggris dengan badan-badan perjuangan yang dibentuk oleh rakyat. Bentrokan-bentrokan bersenjata dengan tentara Inggris di Surabaya, memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober.
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya (Mayor Jenderal Mansergh) mengeluarkan ultimatum yang merupakan penghinaan bagi para pejuang dan rakyat umumnya. Dalam ultimatum itu disebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.
Ultimatum tersebut ditolak oleh Indonesia. Sebab, Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri (walaupun baru saja diproklamasikan), dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sebagai alat negara juga telah dibentuk.
Selain itu, banyak sekali organisasi perjuangan yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar. Badan-badan perjuangan itu telah muncul sebagai manifestasi tekad bersama untuk membela republik yang masih muda, untuk melucuti pasukan Jepang, dan untuk menentang masuknya kembali kolonialisme Belanda (yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia).
Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan besar-besaran dan dahsyat sekali, dengan mengerahkan sekitar 30 000 serdadu, 50 pesawat terbang, dan sejumlah besar kapal perang.
Berbagai bagian kota Surabaya dihujani bom, ditembaki secara membabi-buta dengan meriam dari laut dan darat. Ribuan penduduk menjadi korban, banyak yang meninggal dan lebih banyak lagi yang luka-luka. Tetapi, perlawanan pejuang-pejuang juga berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk.
Pihak Inggris menduga bahwa perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo 3 hari saja, dengan mengerahkan persenjataan modern yang lengkap, termasuk pesawat terbang, kapal perang, tank, dan kendaraan lapis baja yang cukup banyak.
Namun di luar dugaan, ternyata perlawanan itu bisa bertahan lama, berlangsung dari hari ke hari, dan dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran besar-besaran ini memakan waktu sampai sebulan, sebelum seluruh kota jatuh di tangan pihak Inggris.
Peristiwa berdarah di Surabaya ketika itu juga telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat yang menjadi korban ketika itulah yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan.

[sunting] Catatan kaki
^ a b c d The Battle for Surabaya, Indonesian Heritage.

Artikel mengenai sejarah Indonesia ini adalah suatu tulisan rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia mengembangkannya.
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_10_November"
Kategori: Artikel yang perlu dirapikan Rintisan bertopik sejarah Indonesia Sejarah Indonesia Peristiwa 1945


February 22, 2008

Perilaku Buruk dalam Berbahasa

Bookmark and Share
Bahasa menunjukkan bangsa. Peribahasa lama ini ternyata masih tetap aktual dan relevan dengan kondisi kita sekarang. Perilaku kita dalam berbahasa sehari-hari, baik bahasa nasional maupun bahasa daerah, merupakan penggambaran situasi dan kondisi bangsa atau negara dan daerah-daerah kita kini.
Berbagai krisis yang terjadi hampir sepuluh tahun ini tergambar jelas pada perilaku kita dalam berbahasa. Ketidakpatuhan pada hukum resmi atau anarkisme, main hakim sendiri, bertindak seenaknya, malas, boros, tak kreatif dan inovatif, serta antilogika merupakan masalah sangat besar dan serius yang kita hadapi hingga sekarang. Kenyataan ini sangat jelas tergambar dalam perilaku kita dalam berbahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulisan.
Dengarlah nama-nama acara-mereka menyebutnya program acara-yang mengudara di stasiun-stasiun radio dan televisi siaran di kota megapolitan, kota-kota metropolitan, bahkan di kota-kota kecil sekalipun. Simaklah bahasa penyiar atau pembawa acaranya-mereka memakai istilah presenter. Bacalah nama-nama rubrik di media massa cetak yang terbit di mana pun.
Dengan mudah kita membaca berbagai rubrik yang nginggris. Perhatikanlah judul buku-buku fiksi dan nirfiksi karya asli orang- orang Indonesia yang dijual di toko-toko buku, pasar buku, atau kaki lima. Isinya 99 atau 100 persen berbahasa Indonesia, tetapi judulnya nginggris. Simaklah dosen dan guru, terutama yang masih muda, yang sedang mengajar di depan kelas. Mereka bangga menggunakan bahasa gaul kaum muda yang nginggris. Dengarkan pula petinggi atau pejabat negara yang sedang berpidato atau berbicara kepada wartawan, atau ketika tampil dalam acara bincang-bincang-mereka menyebutnya talkshow-di berbagai stasiun televisi.
Simaklah bahasa wartawan-mereka menyebut diri reporter-kita, terutama yang muda-muda. Mereka dengan bangga menggunakan bahasa gaul dan nginggris. Dengarkanlah dengan cermat ucapan-ucapan anggota DPR dan DPRD yang sedang bekerja-bersidang atau berdebat-yang tampaknya sedang memperjuangkan nasib rakyat kecil. Mereka merasa terpelajar dan hebat karena bisa berbahasa "gado-gado" alias nginggris.
Bahasa buruk
Tiap detik dengan mudah kita mendengarkan bahasa buruk semua pihak yang kita sebut. Simak-lah contoh-contoh berikut, "gue banget", "gaya bicaranya dia Soeharto banget", "thank you banget, ya!", "please, deh", "jangan ngomongin aib pacarnya dia", "biaya maintenance-nya sangat mahal banget", "ngapain kita repot-repot, outsourcing-kan aja", "ini benar-benar big bang kita tahun ini", "gua teh lagi nggak fit, tau?".
Realitas perilaku berbahasa buruk ini telah melanda orang Indonesia, tidak hanya yang hidup di Pulau Jawa, tetapi di hampir semua kota di Tanah Air. Bila Anda sering menginap di berbagai kota, dengarkanlah radio-radio anak muda. Tonton juga tayangan stasiun- stasiun televisi daerah setempat. Dengan cepat Anda menyimpulkan, bahasa mereka sama dengan bahasa penyiar radio atau televisi Jakarta.
Penyeragaman bahasa nasional yang "sok nginggris-Betawi" tersebut pastilah berkat "ajaran" (terpaan) stasiun-stasiun televisi nasional yang sangat intensif sejak awal tahun 1990-an, di samping andil media massa cetak.
Mulut munsyi dan pakar linguistik kita sudah lama berbuih-buih ketika mengkritik perilaku berbahasa buruk banyak orang Indonesia tersebut, baik melalui media massa cetak dan elektronik maupun melalui forum-forum ilmiah dan buku-buku. Ada dua tokoh bahasa (munsyi), meskipun bukan doktor lingusitik, yang sangat sering mengungkapkan kegeraman atas perilaku buruk berbahasa orang-orang Indonesia, yakni Prof Dr Sudjoko yang meninggal beberapa bulan lalu dan Yopie Tambayong alias Remy Sylado alias Alif Danya Munsyi alias Dova Zila.
Namun, anjing menggonggong, khafilah tetap berlalu. Gejala apa ini? Perilaku buruk dalam berbahasa ini tampaknya menunjukkan penyakit bangsa kita yang disebut xeno mania alias tergila-gila terhadap asing.
Hukum D-M
Sampai detik ini, pemerintah, munsyi, dan ahli linguistik belum pernah mengubah hukum diterangkan-menerangkan (D-M) menjadi hukum menerangkan-diterangkan (M-D). Akan tetapi, lihatlah nama-nama stasiun televisi dan radio di Tanah Air, baik yang berlingkup nasional maupun daerah. Tanpa merasa bersalah sedikit pun mereka memberi nama stasiun televisi menggunakan hukum M-D.
Penggunaan hukum M-D yang lazim diterapkan dalam bahasa Inggris ini juga dengan mudah kita saksikan pada nama-nama radio lokal dan toko atau usaha.
Simpulan kita, semakin lama semakin banyak orang Indonesia yang berbahasa Indonesia dengan seenaknya, tak mengindahkan aturan yang berlaku resmi. Kata ahli bahasa hukum, ini merupakan perilaku berbahasa yang anarkistis. Berbagai aturan bagus dalam berbahasa nasional mereka abaikan saja karena aturan itu dianggap menghalangi kebebasan berbahasa, atau mungkin mereka mau hidup (berbahasa) tanpa aturan.
Memang benar, bahasa menunjukkan bangsa. Untuk mengetahui dan mengurai "wajah" negara atau bangsa dan daerah-daerah kita kini, kita tak usah mendatangkan ahli dari negara-negara maju. Perilaku kita dalam berbahasa nasional dan daerah telah sangat jelas menunjukkan wajah kita. Salah satu ciri buruk yang sangat menonjol pastilah suka bertindak seenak sendiri atau anarkis.
Perilaku buruk kita lainnya dalam berbahasa, terutama bahasa tulisan, adalah pengabaian dan penjungkirbalikan logika, terutama logika bahasa, salah diksi, kemalasan menerjemahkan istilah-istilah asing (tak kreatif dan inovatif), salah struktur atau rancu, salah ejaan, salah tanda baca, salah kaprah, dan lain-lain.
Untuk mengobati "penyakit" berbahasa yang sudah sangat parah ini, kini perlu ada usaha bersama semua pemangku kepentingan bahasa Indonesia untuk kembali menumbuhkan rasa bangga sebagai bangsa atau orang Indonesia dan sebagai suku bangsa tertentu. Warga negara yang sangat bangga sebagai orang Indonesia dan suku bangsa tertentu tentu (seharusnya) juga mencintai bahasa nasional dan daerahnya sendiri.
Untuk mendukung usaha serius ini, pemerintah dan DPR perlu segera membuat undang-undang tentang kebahasaan. Ini sebenarnya telah lama direncanakan, tetapi tak kunjung diwujudkan. Banyak bangsa lain, termasuk Filipina dan India, merasa iri dan sangat terkagum-kagum terhadap bangsa kita karena memiliki ratusan bahasa daerah, tetapi sepakat menggunakan satu bahasa persatuan.
Bahasa nasional ini merupakan salah satu kebanggaan dan jati diri asli bangsa kita. Akan tetapi, mengapa justru kita sendiri tak bangga memiliki dan menggunakan bahasa daerah dan nasional kita dengan baik, benar, dan indah?



Tulisan:
S SAHALA TUA SARAGIH Dosen Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung


TINGKAH LAKU ARTIS

Bookmark and Share

Apakah menurut kalian artis di indonesia patut di contoh?

kalau menurut saya tidak sama sekali tidak usah,karena tingkah laku mereka itu tidak benar,contohnya perceraian,narkoba,banyak sekali kalau disebutkan satu persatu,yayaya....memang tidak semua sih artis seperti itu,tapi yang ditayangkan oleh telivisi(gosip)hampir dengan itu semua.

maksud bukan untuk melarang,tapi ada anak-anak yang belum dewasa,saya hanya ingin usul acara gosip untuk jam tertentu saja,jadi tidak semua kalangan menikmatinya khususnya anak-anak.

saya hanya mau berdiskusi ,apa pendapat kalian?

February 21, 2008

BUDAYA

Bookmark and Share
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia



Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.

Upacara kedewasaan dari suku WaYao di Malawi, Afrika.
Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.





UNSUR-UNSUR.

Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut:
Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:
alat-alat teknologi
sistem ekonomi
keluarga
kekuasaan politik
Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi:
sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya
organisasi ekonomi
alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama)
organisasi kekuatan (politik)



WUJUD

Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak.
Gagasan (Wujud ideal)Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.
Aktivitas (tindakan)Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.
Artefak (karya)Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.
Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.

KOMPONEN

Berdasarkan wujudnya tersebut, kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama:


Kebudayaan materialKebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.
Kebudayaan nonmaterialKebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.



Hubungan antara unsur-unsur kebudayaan



Komponen-komponen atau unsur-unsur utama dari kebudayaan antara lain:



Peralatan dan perlengkapan hidup

teknologi

 
© 2013 PUJANGGA INDONESIA.|All Rights Reserved |Developed SASTRA ZINGGA| Designed BY USUP WIDODO twitter:@mafiabond